Di satu sisi, sebenernya selalu menganggap faktor agama itu faktor kecil dalam sebuah hubungan bagi gue. Terpengaruh juga sama faktor usia yang sejauh ini sih belum mau nikah jadi santai aja sama yang gak seiman, dan terpengaruh juga sama gue yang masih gak jelas imannya, dan lagi di masa melihat manusia di agama gue sangat tidak toleran terhadap agama lain. Di satu sisi gak nyangkal hal tersebut bikin gue jadi gak seneng sama banyak hal dari kepercayaan yang (mau gak mau) gue miliki sejak lahir ini. Keluarga gue bisa dibilang tiba-tiba taat karena orangtua gue semenjak pulang haji langsung berada di jalan yang benar. Walaupun gue yakin banyak faktor lingkungan juga, kenapa nyokap pake jilbab, terus bokap nyokap jadi rajin sholat juga sih. Nenek gue dua duanya religius juga, sholat dan ngajinya rajin banget (ya ngomongin orang juga rajin tapi gak apa-apa). Nenek gue bahkan pernah bilang dari SD yang penting Deby cari yang seiman. Dulu gue mikir “yaiyalah ngapain juga sama yang gak seiman”. Tapi hidup suka becanda kan kadang-kadang.
Oh iya, info tambahan, keluarga besar gue juga gak ada yang berasal dari agama lain plus suka hobi merendahkan agama selain agama yang kita anut. In-group banget deh gak ada kontak kontaknya. Gak diskriminasi sih engga ya setau gue, tapi stereotype nya parah banget. Ya kasus Ahok keliatan lah stance nya di mana. Jangan lupa, dukung Habib Rizieq juga kok. Makanya gue sebagai manusia yang cukup tertarik politik, jadi males banget diskusi di rumah karena udah campur aduk deh mana agama mana politik. Ini semua gak berarti gue anti dengan ajaran agama gue ya, gue cuma sedang banyak gak senengnya aja. Lagi sesat bisa dibilang hahaha
Lalu, kalo kata yajugaya kan hati tak pernah mencari ia jatuh sendiri. Suatu saat yang lalu ternyata saya berada dalam hubungan beda agama yang juga tidak pacaran dan menjalani prinsip kita jalani dulu aja, karena emang gaktau harus apa sih sebenernya. Gue sesantai itu ngomongin “per-LDR-an rumah ibadah” seakan bukan masalah dalam hubungan, kayak.. oh latar belakang dia begini, nyuruh gereja mah sering walaupun kita sama-sama lagi sesat sebenernya (waktu kemarin). Kayak, yaudah emang sesimpel gue gak bisa bawa manusia ini kerumah aja. Not a big deal sepertinya, toh kayaknya gue gak akan bawa laki kerumah sampe udah cukup serius deh.. Hm tapi setelah sekarang sudah berakhir dan mengevaluasi.. Ya, gue sering ‘menahan’ ini itu karena udah tau dari awal kalau kita gak bakal bareng selamalamalamanya karena ya, klise, beda agama. Ya gue gak pantes aja gitu deh intinya karena secara demografis aja udah beda. Maksut gue, ya dia pun bukan sosok yang seideal itu dan hubungan kita secocok mampus itu sampe gue rela pindah agama apa gimana gimana di masa depan sih yang gue pikirkan kemarin. Tapi ya melihat pasangan beda agama bisa menikah itu ..menyenangkan. Jujur nih emang pernah ngestalk aja hahaha. Gak tau di belakangnya kayak apa ya perjuangan mereka, tapi mereka cukup “egois” buat melawan yang namanya keluarga dan tuntutan (atau lebih tepatnya, tekanan) yang ada. Cintanya macem apaan ya? Dititik apa mereka memutuskan untuk menebas mengarungi itu semua dan jadi serius? Diskusi macam apa yang dilewati ya? Pasti juga balik lagi macem keluarga nya sih.. se-religius itu atau enggak, atau mau nerima anaknya apa enggak dll.
Mungkin gue bukan tipe cerita juga ke keluarga, jadi gue gak mau keluarga gue tau gue pernah berhubungan dengan seseorang beda agama karena akan memunculkan banyak masalah yang tidak penting aja. Alhasil emang bohong terus. Gak tau, tapi mungkin tekanan lebih besar bukan di gue tapi di pihak dia. Ya orang bilang alasan beda agama untuk udahan cuma justifikasi sih? Jujur gue juga menganggap itu sekadar alasan doang. Mungkin emang ‘bensin sayang’ nya gak ngalahin kekuatan egois buat terus jalanin aja sama gue, dan mempertemukan dengan yang seiman —dan sesuku, sesuai ekspektasi keluarga. Kurang apa lagi? Hal tersebut walaupun membuat sedih (untuk periode tertentu), tapi memang harusnya seneng karena orang yang lo sayang (definisi sayang tergantung konteks, also hate at times) bisa berkurang bebannya dan bertemu orang yang jauh lebih tepat daripada lo. Dan mungkin, mengetahui bahwa sesuatu tidak akan berjalan dengan baik pada akhirnya, juga membantu mengikhlaskan saja sih.
Jadi mari kita berandai-andai, bagaimana jika kita hidup di dunia di mana rasa sayang itu tidak dibatasi? Di mana individu bisa saling menyayangi tanpa batasan kepercayaan? Batasan keluarga? Oke gue cukup terpengaruh sama film The Big Sick juga kayaknya. Tapi ya, kita hidup bukan untuk diri sendiri juga. (Oiya, gue paham kok tanpa masukin faktor agama pun hubungan nya juga mungkin emang udah gak memuaskan). Dan terkadang harus merelakan hal-hal yang diinginkan karena.. akan dibuang dari keluarga sih gue kalo gue pindah agama (misal) atau nikah beda agama (misal). Tapi bukan bagian itu sebenernya, lebih ke arah gak mau keluarga gue dicap aneh-aneh karena ulah gue aja. Faktor eksternal memang tai.
Membayangkan dunia di mana hati ini bisa jatuh sendiri tanpa benar-benar peduli (karena ya ternyata walaupun faktor agama bukan hal besar bagi gue di titik ini, ternyata kemarin gue masih cukup peduli) sama latar belakang apapun itu. Cinta sama individu-nya, bukan hal-hal identitas “di belakang” nya
P.s: gak cuma membayangkan dunia yang bisa sayang tanpa kebatas agama. Dunia di mana yang seagama pun bisa hidup tenang menyayangi karena gak terbatas keluarga. Misal seagama tapi beda ras/suku (Arab vs. The World, orang Aceh harus nyari Aceh juga dll), atau gak setuju karena udah dijodohin dan sebagainya dan sama-sama harus udahan karena itu. Hubungan berdua yang menjalani, tapi variabel ini itu memang juga jadi pengaruh ya. Balik lagi sesuai teori kelas Hubungan Interpersonal (HAHAHA this theory explains a lot) tentang investment model. Mau berinvestasi sebanyak apa?
Sekian tulisan macem esai yang poinnya gak jelas apa ini. Itu dia fungsi blog ini kan. Kalo jelas udah gue publikasi dan masukin lomba kayaknya hahaha #pede.
Selamat tahun 2018, mari kita lihat setahun lagi (kalau masih ada nyawa) di titik manakah saya berada dalam linear kehidupan? (Dan dia. Ya kali kepo aja sebenernya).
Cheers, enjoy the journey
Sunday, December 31, 2017
So let’s talk about faith & relationships
+ Deby at 7:18:00 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comment:
Post a Comment