Eh ini bisa disamain sama seni gak sih? Ternyata selama ini gue tertarik sama ide seni sebagai bentuk aktivisme ya semacam lagu ERK, atau puisi seperti Wiji Thukul, dan tulisan novel seperti Leila Chudori, ataupun bentuk seni lain seperti film! Walaupun bentuk seni itu banyak dan gue adalah hanya manusia pasif penikmat karya-karya hebat, dan selera gue sebatas film, musik, literatur, karena bentuk seni lain seperti tarian, teater, dan lukisan, patung dan sebagainya mungkin emang lebih ke gak selera-selera amat jadi gak mau maksain juga buat suka.. Intinya, satu hal bisa ditransformasikan dalam bentuk medium lain dan bisa dipersepsikan dalam cara dan rasa yang berbeda. Pemikiran itu lagi terngiang-ngiang banget di kepala. #manic
Kali ini, mau ngebahas film-film yang gue tonton dalam 2 hari terakhir! Setelah gue analisis secara tidak mendalam-mendalam amat, ada suatu kesamaan ide besar yang berusaha disampaikan oleh berbagai film dengan latar belakang dan genre yang berbeda. Dan lucunya, ini dari perspektif gue sendiri dan tentu dipengaruhi oleh pengalaman belajar formal dan nonformal. Mungkin banget itu bukan tujuan utama si pembuat karya, mungkin banget film ini bakal dimaknai secara berbeda sama orang yang berbeda. The freedom to choose our own meaning, hahahaha. Mari belajar -- selain untuk hiburan -- kali ini dari film! Setelah rasanya hidup seperti air mengalir saja dan biarkan tanpa tujuan dan terjebak di fase moratorium dan tersesat, sepertinya ini saat yang tepat untuk kembali punya pegangan, punya arahan, dan mulai belajar dari setiap hal yang dieksplor, memilah mana yang sesuai mana yang tidak #selalu #ada #curhatnya.
Btw, spoiler semua jadi kalau gak pengen tau jalan ceritanya dan karakternya gimana jangan dibaca ok!
1. Coco (2017)
Miguel, usia remaja, hidup di lingkungan yang sangat menjunjung tinggi keluarga, value jelas banget kolektivis. Keluarganya hidup dengan larangan bermusik karena buyut (nenek dari neneknya Miguel) punya pengalaman traumatis dengan musik, yaitu ayahnya ninggalin keluarga karena bermusik. Oh iya, seperti orang kebanyakan kan kita suka nebak ya plot cerita.. dan Disney biasanya udah ketebak. Cuma ternyata di film ini asumsi gue sempat salah jadi dari segi plot menurut gue oke sih. Balik lagi ke Miguel, doi ini senang bermusik dan punya ruangan rahasia kecil yang isinya gitar dan idola dari kampung halamannya, Ernesto de la Cruz, cita-citanya jadi pemusik terkenal kayak Ernesto. Cuma ya gitu, ada konflik antara dirinya yang suka bermusik dengan keluarganya yang super anti-musik (level neneknya ngancurin gitar). Di sini posisinya keluarganya nerima dia secara lapang dada selama dia gak main musik. Doi ngeyel dan masuk ke dunia orang mati dan ketemu leluhur-leluhurnya. Dan di akhir cerita akhirannya membahagiakan karena dia bisa mengubah persepsi keluarganya akan musik dan Miguel bisa menjadi dirinya yang sebenarnya tanpa harus diem-diem ngeboong.
Selain itu, menyentuh juga karena memunculkan pertanyaan semacam.. "apakah kalo nanti lo mati, akan masih ada yang inget?" dan apakah menjadi 'diingat' itu penting atau enggak gitu.
2. The Secret Life of Walter Mitty (2013)
Walter Mitty, seorang manajer negative assets di majalah Life, suatu hari dihadapkan kenyataan kalo kantornya harus berubah jadi Life Online dan terjadi PHK besar-besaran. Padahal, doi baru punya crush baru ke rekan kerja baru (yang cukup beda divisi sih). Terus Walter ini udah kerja buat Life selama 16 tahun dan hidupnya ya begitu-begitu aja, tapi doi suka daydream tiba-tiba menjadikan ia sosok yang berbeda dari kebiasaan (misal pemalu jadi super pemberani) dan ya imajinasinya itu cukup ironis kalo dibilang. Diskrepansinya jauh banget deh antara diri Walter saat itu sama sosok ideal yang ada di fantasinya, dan oh iya Walter udah cukup tua tapi masih 'dimanja' sama Ibu nya dan deket juga sama kakak perempuannya. Sampe pada akhirnya ada suatu peristiwa yang merubah hidup, dia dikirim foto negatif sama fotografer terkemuka ceritanya namanya Sean, dan dikasih dompet. Tapi si negatif itu gak ada dan dia harus mengikuti jejak Sean yang super adventurous dan sulit dilacak buat nanya fotonya di mana, awalnya Walter takut, tapi akhirnya dia memberanikan diri pergi ke Greenland dan ke Iceland, dan mengalami pengalaman yang gak mungkin dia dapetin kalo doi tetep di kantornya aja. Poin plus dari film ini ada lagu Space Oddity yang juga ngedorong Walter untuk berani seperti Major Tom.
3. The Breakfast Club (1985)
Wah ini film kan ikonik banget ya, tapi sejujurnya gue emang baru nonton sedikit banget bagian akhirnya dulu di HBO. Terus karena ada di hard disk akhirnya memutuskan untuk nonton dari awal deh. Eh.. cukup psikologi. Walaupun banyak hal yang seksis dan jujur gak suka endingnya, tapi karakter-karakter yang ada dan berinteraksi dengan plot sederhana gitu tapi oke juga. Jadi mikir lebih jauh tentang koneksi manusia sih.. Anak SMA dari latar belakang yang beda-beda clique, dikumpulin di satu ruangan karena dihukum. Awalnya gak jelas banget semuanya gak ada yang mau ngerjain tugasnya, padahal pertanyaannya kesannya sederhana, cuma bikin esai mengenai "Who am I?" asli sesuai banget sama konflik perkembangan hahaha. Terus entah gimana dinamikanya sampe akhirnya semuanya ngumpul (ngeriung?) dan bisa terbuka secara aneh satu sama lain, dan ya mereka semua emang ternyata memiliki satu kesamaan -- keluarga yang fakshit. Dan mereka semua punya ketakutan bakal menjadi individu yang sama seperti orangtuanya.. Kesannya sih kayak 'membandingkan' masalah satu sama lain gitu, tapi ya balik lagi sih.. gak bisa disama ratakan suatu masalah ke semua orang outputnya kan di dunia nyata. Tokoh Brian Johnson, nerd dan overachiever akademis, sekali waktu dapet nilai E di semacem kelas pilihan gitu dan sempet memutuskan untuk bunuh diri. Tokoh Andrew Clark, atlet, over achiever di ranah olahraga, diekspektasikan untuk jadi 'cowok banget' padahal dia gak kayak gitu (konteksnya dia semacem disuruh Bapaknya ngelakuin kejailan layaknya cowok remaja karena dulu Bapaknya juga gitu, tapi ni orang baik aja jadi sekalinya ngelakuin hal jail jadi merasa bersalah banget). Claire Standish, jelas princess dan punya orangtua yang berantem terus, tapi dispoiled banget sama Bapaknya, dan denial banget kalo dirinya masih perawan gitu (emang tinggi ya tekanannya di Amerika sana?). Allison Reynolds nih jujur udah paling freak tokohnya hahaha karena emo dan tidak punya temen, ngomong cuma sekali-kali doang.. ya tau-tau bisa nyambung aja tuh. Terus John Bender, anak paling songong sok nakal ngocol rese pokoknya gue sebel banget liatnya tapi ya balik lagi.. emang Bapaknya kekerasan rumah tangga, ancur deh pokoknya. Kembali ke dilemma ke-serbasalahan.
4. Dead Poets Society (1989)
Wah kalo ini film yang bisa dibilang cukup positif sih tapi emang lagi butuh film yang kayak gini, cukup mengeluarkan gue untuk keluar dari lubang. Seorang guru namanya Mr. Keating, ngajarin tentang puisi tuh gak bisa di'ukur' tingkat kebagusannya karena urusannya sama rasa -- secara eksplisitnya gitu, tapi secara implisit banyak lah yang diajarin. Situasi ceritanya juga di sekolah akademi laki-laki yang menjunjung tinggi kedisiplinan dan tradisi, sedangkan Mr. Keating ngajarin hal-hal liberal dan berpikir kritis gitu. Intinya, jangan mentah-mentah nelen tapi coba mikir pake otak sendiri juga. Tapi jelas sekolahnya menentang cara pengajaran begitu karena dianggap berbahaya ngajarin hal kayak gitu di usia remaja, guru lain semacem "tanggung jawab kita sebatas membuat mereka diterima di perkuliahan" yaitu bikin muridnya kaya secara akademis aja. Terus ada Todd yang super pemalu, ada pressure tersendiri karena dia punya kakak yang terkenal dan hebat banget an kita bisa lihat dia di awal film sampe hampir akhir film sih sebenernya bener-bener mendem, inferiority complex maksimal, gak percaya diri sama kemampuannya, takut, sampe di akhir dia bisa berani berdiri di atas meja ngasih salute ke Mr. Keating. Terus karakter menonjol lain ada Neil Perry, punya Bapak yang sangat menuntut dia untuk jadi dokter dan menuntut nilai bagus sampe ngelarang Neil ikut kegiatan lain. Sedangkan hal tersebut sangat bertentangan sama dirinya yang suka teater. Wah walaupun filmnya positif, tapi ending ini film sangat pahit dan tragis.. Carpe diem. Seize the day.
5. The Incredibles 2 (2018)
Film yang kutunggu-tunggu sejak piyik! Akhirnya keluar saatku berusia 20 tahun lho..? Plot ceritanya yaudah seperti biasa, ada musuh dan berhasil ngalahin musuh itu. Tapi konfliknya luar biasa seru untuk dianalisis. Karena konfliknya ada dalem diri, ada di hubungan antar anggota keluarganya, dan masyarakat. Dalem diri karena ya.. mereka superhero? Mereka beda sama orang biasa lain, mereka gak minta tapi terlahir dengan gen super di dunia yang melarang adanya superhero. Mau gak mau mereka The Parr/Incredibles harus beradaptasi dengan itu, menjadi seseorang yang bukan dirinya sendiri karena dituntut lingkungan untuk menjadi 'biasa aja'. Antar Elastigirl dan Mr. Incredible juga suka beda pendapat (beda cara pandang bahkan), Mr. Incredible percaya kalo ya mereka punya kelebihan dan itu adalah 'true self' nya, sedangkan Elastigirl lebih realistis.. ya mereka mau gak mau harus kerja sebagai orang biasa demi hidup dan meninggalkan identitas superhero mereka itu. Sampe akhirnya ada tawaran buat bikin ban terhadap superhero itu dicabut oleh seorang pengusaha tajir kakak-beradik Devtech yang menurunkan kecintaan Bapaknya terhadap superhero sebelum si Bapak meninggal. Mr. Incredible dengan ego-nya itu mau gak mau harus merelakan istrinya mengalami pengalaman seru (karena Elastigirl dipercaya lebih low-risk) menghadapi musuh dan dia harus ngurus anak di rumah. WAH dengan segala konfliknya lagi. Elastigirl role-conflict peran Ibu dan peran sebagai superhero, Mr. Incredible konflik karena he should've be the one out there and saving the world instead?, ngadepin anaknya Jack-Jack yang udah kayak setan kemampuannya, Violet dengan diri dan lakinya sedang puber, dan Dash dengan PR nya.. Bagus deh pokoknya. Jack-jack my love. Dan di akhir tau gak siapa yang memutuskan untuk menyelamatkan? Violet & Dash! Mereka bisa aja nurut dan diem seperti apa yang diperintahkan, tapi mereka gak mau :)
Hm, moral of the storynya kalo menurut gue dari kelima film di atas adalah..
Tiap orang punya konflik antara diri dia saat ini, diri idealnya seperti apa, dan tuntutan lingkungan yang ada dan sebegitu menuntutnya. Identitas masih menjadi major conflict theme di film-film sampe kapanpun juga karena.. kita manusia dengan segala keterbatasan menjadi manusia.
Tapi, gak ada salahnya menjadi berani untuk melangkah lebih jauh lagi, dan keluar dari comfort zone kita walaupun diliputi oleh segala halang rintang di tengah jalan.
Pertanyaan: menjadi diri sendiri di tengah segala tuntutan dan ekspektasi yang berbeda dan mengorbankan lingkungan itu, atau mengikuti tuntutan lingkungan dan mengorbankan diri sendiri dengan menjalani hidup yang tidak sesuai keinginan?
Cheers,
Deb
0 comment:
Post a Comment