Setelah ledakan dua hari yang lalu, dan beberapa hal yang terjadi dalam dua hari ini, aku menyadari bahwa sejatinya aku adalah individu yang sangat takut mengungkapkan perasaan asli ke beberapa orang. Jadilah aku akan menulis hal tersebut di sini. Sekaligus berlatih untuk ekspresif dan mengidentifikasi pemikiran yang suka datang tiba-tiba mengganggu.
Kepada MS & MF,
Udah setahun ya MS, MF, membimbing aku dulu. Walaupun dulu mungkin MS lagi banyak-banyaknya cobaan, dan lebih sering dibantu MF. Aku melihat MS dan MF sebagai sosok mentor yang sangat pintar dan mumpuni di bidangnya, dan bahkan punya value yang kurang lebih sama denganku. Jika harus berkata jujur, aku harus bilang bahwa walaupun MS dan MF sangat berjasa dan mendukung, namun aku merasa 'terbungkam' ketika dulu berada di sekitar kalian. Aku punya beberapa perbedaan pendapat yang rasanya akan percuma untuk diutarakan, terlebih kalian sering memandang orang lain dengan perasaan kompetitif -- melelahkan. Aku pun juga orang yang kompetitif, tapi kupikir, harusnya tidak segitunya? Aku paham MS dan MF niatnya pasti selalu untuk kebaikan, tapi setelah keluar dari lingkaran itu aku benar-benar belajar, bahwa bekerjasama dan berkompromi adalah keahlian yang dibutuhkan juga di dunia ini.
Serta, memiliki kekuasaan bukan berarti kamu bisa semena-mena melakukan apa yang kamu inginkan. Dari tempat parkir ataupun urusan memberi perizinan praktek. Apa bedanya kamu dengan para pejabat korup di luar sana?
Dari lubuk hati yang terdalam, aku tidak akan pernah melupakan jasa-jasa MS dan MF. Pun aku sejatinya masih ingin sekali memiliki hubungan yang baik. Tapi aku takut. Namun kalau diminta untuk mengingat hari itu -- "you're like a close book to me, Deb", dan betapa besar rasa kecewamu kepadaku-- hal tersebut, bagi orang sepertiku, tidak akan menjadikanku semakin dekat. Aku akan berlari, menjauh, jauh sekali, dan mencari jalan lain. Kamu sendiri pun berkata kalau aku pintar, dan itu yang membuatku menjadi menyeramkan, bukan? Aku tidak pernah meminta mu, MS, untuk begitu jujur dan terbuka didepanku. Aku pun tidak memiliki kewajiban untuk menjadi seorang yang jujur di depanmu, karena, sekali lagi--walaupun jasamu besar sekali dalam kehidupanku, aku rasa ini tidak bisa sepenuhnya kembali kesedia kala, di saat sebelum kamu bilang "Saya orang yang pemaaf, tapi saya gak akan pernah lupa". Mungkin, definisi kita memang berbeda, dan jalan yang ditempuh harus terbelah. Walau begitu, sebagai orang yang tidak bisa memiliki 'musuh', seharusnya cukup mendewasakanku. Aku tetap akan selalu berterima kasih.
Kepada t.,
Aku merasa hubungan pertemananku dengan mu adalah hal yang aneh. Memang banyak hal yang kita lalui bersama saat SMA, aku pun cukup terbuka dan kamu pun sepertinya cukup terbuka ya? Namun mengapa, aku selalu merasa lelah ketika harus membuka pesan darimu? Mengapa aku merasa membalas pesanmu adalah suatu tugas yang harus penuhi? Sesungguhnya aku bangga dengan jalan yang kamu tempuh, namun lagi-lagi mengapa, aku merasa aku tidak bisa menghargaimu dan menjadi teman yang ideal bagimu? Aku tidak merasa mampu untuk selalu ada dan akan membalas setelah satu minggu, dua minggu, atau tiga bulan. Itupun membalas karena didorong rasa bersalah. Mungkin ada beberapa sifat-sifatmu yang tidak aku sukai? Entahlah, jika iya pun, aku tidak bisa menjelaskannya
Walau saat bertemu, aku senang mendengar ceritamu tentang teman-temanmu, pendidikanmu, keluarga dan adikmu yang sulit diatur, dan betapa kamu adalah anak tengah paling nurut dan berprestasi. Bahkan kamu pernah berkata siap sedia untuk menjadi tong sampah. Tapi entah mengapa, rasanya tidak nyaman bercerita denganmu? Dan ini, lagi-lagi, bukan salahmu sama sekali. Aku hanya bingung, perasaan, perilaku, dan perbuatanku sangat tidak sinkron. Rasanya, aku benar-benar tidak bisa percaya seutuhnya, setidaknya tidak seperti waktu SMA dulu
Kepada e.,
Kalau semakin dipikir-pikir, aku akan bingung. Memang kadang beberapa hal lebih baik tidak harus dipikirkan. Terutama tentangmu. Kamu sebagai individu dan bagaimana dunia mempersepsikanmu, aku pun tidak tahu apakah persepsiku tentang dirimu, sejalan dengan orang lain di luar sana. Pastinya, aku tidak tahu dan tidak mau tahu apakah kamu hanya berpura-pura, sedang mengasah keahlianmu, atau sedang apa dan apapun niatmu. Bahkan saat menulis ini sajapun, aku berpikir keras. Aku pernah menganggapmu sebagai tong sampahku, dan aku sangat bersyukur dengan eksistensimu di dunia ini walau mungkin kamu sendiripun tidak merasa begitu dengan dirimu. Kamu menyelamatkanku, di suatu titik dalam hidupku, klise memang. Seiring waktu berjalan, aku pun tidak mengerti mengapa, jujur saja, merasa nyaman saja untuk bercerita atau mengutarakan pendapat kepadamu -- terlepas apapun reaksimu, apapun responmu. Kamu diam pun aku tidak masalah, sepertinya? Aku hanya mencari rasa lega yang muncul tiap kali aku selesai mengetik tulisan panjang lebar berhalaman-halaman WhatsApp atau nyerocos bacot. Dan membalas pesanmu tidak pernah terasa seperti sebuah PR. Dan mendengarkanmu mengoceh jam 3 pagi berkali-kali pun juga bukan suatu masalah bagiku.
Namun, tiba-tiba aku tersadarkan--apakah aku membebanimu? Aku merasa mulai ketergantungan. Dan aku tidak suka perasaan itu, tidak suka merasa bergantung, dan tidak suka mengakui mungkin walaupun ini platonis, mungkin aku ternyata peduli lebih dari yang seharusnya.
Aku sebelumnya tidak peduli denganmu dan ke-alkoholik-anmu itu (ya, aku masih memisahkan keduanya, walau rasanya mungkin dirimu dan alkohol adalah satu). Toh, kamu sudah dewasa juga. Suatu trigger adalah ketika kamu menanyakan bayaran untuk suatu hal yang menurutku bentuknya adalah bantuan. Bukan berarti aku tidak menghargai jasamu. Kalau aku tidak menghargai, apa iya aku selalu mengirimkan sejumlah transfer kepadamu selesai kamu membantuku?
Mungkin, aku hanya akan mengucapkan "terima kasih" jika begitu.
Entahlah, mungkin ini transaksional? Kamu sendiri yang berkata bahwa kamu mungkin memang tidak akan bisa "form a deeper connection". Sungguh, aku pernah berusaha untuk mengerti. Pada saat itu kamu berkata bahwa kamu (atau Ayahmu menyuruhmu) butuh untuk menabung, baik, sebagai tanda terima kasih maka segera aku kirimkan.
Setelah itu, aku pun sedikit terganggu dan aku hentikan akses akunmu untuk melihat cerocos keseharianku di dunia maya. Namun tidak lama kemudian, kamupun bertanya "boleh sambil minum gak?" di konteks ulangtahun salah satu teman kita. Sejujurnya aku tidak peduli -jikapun kamu minum-sumber uangnya darimana-toh itu uangmu. Namun lagi-lagi mungkin memang aku yang berlebihan, rasa kesal itu muncul kembali. Akupun juga sempat tidak membalas pesanmu waktu itu, beberapa kali. Mungkin aku saja yang pasif/agresif? Entahlah. Aku memang tidak pandai menyelesaikan konflik yang bahkan tidak jelas apa inti perkaranya ini. Kita lihat saja apakah dengan waktu berlalu, aku akan kembali seakan tidak terjadi apa-apa atau aku akan merelakan hubungan ini. Aku bisa pergi. Aku akan selalu mendoakan kedamaian bagi dirimu, hidupmu, buku-bukumu, tulisan-tulisanmu.
Kepada i.,
Akupun merasa bersalah karena beberapa bulan yang lalu, aku menjadi perantara antara dirimu dan satu orang yang sangat-sangat-sangat kamu sayangi. Aku senang ketika melihat dua orang bisa memiliki perasaan yang sama satu sama lain. Namun ternyata, memang mungkin belum saatnya kalian untuk bersama selalu. Aku siap menjadi tong sampahmu, walaupun aku tidak tega untuk menjadikanmu tongsampahku. Setiap hari akan selalu kusempatkan waktu untuk membalas pesanmu. Dan sebagai teman secara umumpun, kamu sangat baik.
Bohong jika aku berkata bahwa aku membalas pesanmu bukan dari rasa kasihan. Sebagai teman, aku peduli, kok. Namun mungkin tidak bisa menjadikanmu lingkaran terdekat dari kehidupanku. Aku senang bagaimana aku bisa melaporkan seluruh episode The Office yang baru saja aku tonton kepadamu, dan kamu membalasnya.
Tetapi lagi-lagi, entah kenapa mendorong diriku untuk membalasmu terkadang terasa sebagai beban. Walau saat kamu meminta maaf aku pun akan balas "santai saja". Aku senang kamu masih mau bercerita kepadaku. Sebenarnya aku berharap kamu tidak terlalu bergantung kepadaku, dan lega rasanya ketika kamu bilang bahwa ada kok orang-orang lain (atau sirkel) yang juga berhubungan denganmu, menjadi sistem dukunganmu.
Sungguh, kamu memang a bright kid. Aku dan yang lain seringkali melihat itu. Walaupun ada masa-masa tertentu kamu sangat tidak stabil secara emosi dan membuatmu dijauhkan oleh teman terdekatmu. Tapi kamu belajar, dari 'kesalahan' kamu berkembang. Bukan berarti kamu sampah di dunia ini. Bukan. Kamu hanya seseorang yang mencari rasa aman dan nyaman dalam bentuk yang bisa kamu temukan--setidaknya aku melihatmu seperti itu.
Turut senang menyaksikan saat saat di mana kamu cemas karena belum bekerja namun pada akhirnya kamu diterima juga, kan?
Aku berharap kamu bisa mendapati cara dalam mengatasi rasa patah hatimu itu. Doaku untukmu selalu. Aku berharap kamu menemukan kepercayaan dirimu.
Kepada d.,
Selamanya mungkin aku memang tidak akan pernah bisa memahami dan menyelami jalan pikiranmu. Kamu tumbuh sedemikian rupa, dan jika diamati lebih jauh lagi--sangat fragile. Caramu keluar dari masalah adalah dengan bekerja, klien nomor 1. Kamu tidak ingin menghadapi masalahmu, menghadapi perasaanmu, dan mencari cara untuk kabur. Selalu seperti itu polanya.
Aku hanya benar-benar mendoakanmu untuk segera memiliki hubungan yang baik dengan hal-hal yang kamu sukai. Aamin.
Setelah dibaca baca, geli juga ya. tapi gak apa-apa jadi lega. hehe
Saturday, April 25, 2020
Surat yang Tidak Akan Pernah Dikirim
+ Deby at 11:10:00 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comment:
Post a Comment